ARTIKEL

Bahasa Inggris, Sulit dipelajari atau sulit diajarkan?
Oleh: M. Badrus Sholeh

DOKTRIN belajar bahasa Inggris di Indonesia memang lumayan canggih. Ukurannya penutur asli (native speaker). Lidah pebelajar yang sudah 'diindonesiakan' dibuat sedemikian rupa agar bisa menyerupai pelafalan penutur asli. Jika pelafalan tidak mirip penutur asli, maka orang kita (orang Indonesia juga) akan menganggap bahasa Inggris Anda tidak bagus. Anggapan seperti itu akan bermuara pada dua kemungkinan. Pebelajar bahasa Inggris mungkin akan termotivasi atau malah sebaliknya; frustasi.
Alasan lain, kultur sudah membentuk sebagian besar dari kita untuk menghindari 'salah' di depan umum. Dan, itu berlaku untuk hampir semua bangsa Asia, termasuk Cina, Korea, dan Jepang. Keumuman di kalangan bangsa Asia itu telah diteliti oleh seorang pakar bernama Kitao yang dikutip di salah satu Jurnal Pengajaran Bahasa Inggris di Astralia. Implikasinya jelas, kita takut mengakui kesalahan bahkan cenderung menyembunyikannya.
Kultur itu juga terimbas pada kami pertama kali hendak berkomunikasi lewat telepon dengan layanan pelanggan di Australia. Dengan bahasa Inggris pas-pasan, ragu dan takut, padu jadi satu. Tidak jadi menelpon, itu yang tersering. Seiring berjalannya waktu, kami mulai terbiasa dengan budaya mereka yang sudah maklum betul dengan lidah Asia. Lidah terbentur, mereka tidak menegur, hanya memperjelas. Apakah budaya kita yang perlu direkonstruki? Tegasnya, tidak! Adaptasi yang perlu. Secara pribadi dan perlahan, kita mampu melakukannya. Melakukan kesalahan berbahasa yang bukan bahasa kita tidak perlu cemas apalagi takut. Bukankah kesalahan juga sarana belajar yang efektif? Bagaimana dengan anak-anak kita di daerah-daerah? Kelihatannya hal-hal di atas tidak begitu mengkhawatirkan. Mereka yang sudah terbiasa mendengan ujaran-ujaran berbahasa Inggris dari film-film Amerika atau lagu-lagu barat akan fasih mengujarkan beberapa ujaran tertentu. Terutama yang paling kerap terdengar di telinga mereka seperti "Cool, man!" itu akan otomatis mereka baca dan ujarkan "kuul meen!". Sukur-sukur kalau mereka mengerti maksudnya dan sesuai dengan budaya kita sendiri.
Yang menggemaskan hanya kecenderungan mereka meniru ujaran yang melanggar etika kesopanan timur. Tak usahlah dipaparkan di sini sebab mungkin pembaca sudah paham yang saya maksudkan. Bagi mereka, pendapat Skinner sang pelopor aliran perilaku mungkin tepat. Mereka mampu belajar bahasa Inggris dengan meniru ujaran itu dan diikuti dengan stimulus respons plus penguatan dengan imbalan. Jika masyarakat menegur, mereka ketus dan putus asa. Jika tidak, mereka terus.
Kesulitan umum yang dihadapi pebelajar bahasa Inggris berlidah daerah yang dominan hanyalah kemampuan pelafalan. Selebihnya, relatif sama dengan bangsa lainnya. Bagi kita yang sudah terbiasa berkomunikasi verbal dengan bahasa daerah misalnya, akan sedikit terpengaruh dalam mengujarkan leksikon bahasa Inggris. Bahkan bahasa Indonesia pun masih kadang hiperkorek. Dan, hiperkorek seringkali jadi bahan tertawaan seperti kasus di Makassar yang kelebihan vitamin 'G' (Makan ikan = Makang ikang). Walhasil, "Ai dong laik Inggelis" (I don't like English).
Guru bhs Inggris dan orangtualah yang mungkin paling banyak mengeluh jika nilai bhs Inggris anak-anak kita pada rentang 3 - 5 saja. Sudah les, dikursuskan, suka nonton dan dengar lagu barat, meeting tiap minggu, tapi hasilnya masih juga begitu. Lalu? Jangan cemas. Nilai bhs Inggris di sekolah hanyalah standar prestasi, bukan penggambaran kemahiran. Mungkin kita lupa kalau bahasa asing tidak mungkin bisa dikuasai semahir bahasa Indonesia kita dalam tempo 3 tahun dan tetap di Indonesia. Terlalu banyak faktor penghambat yang harus didobrak.
Tapi, bukankah bhs Inggris akan jadi bahasa Global? Bagaimana nasib anak-anak kita di AFTA 2003 (tahun depan)? Pekerjaannya? Posisinya? Statusnya? Bangsa kita? Deretan pertanyaan sejenis itu sulit dijawab oleh guru bhs Inggris, sekolah, atau pemerintah dan bahkan pakar-pakar bahasa kedua sekalipun.
MacNamara memang pernah menyinggung di buku Gardner (Social Psychology in Second Language Learning, the Role of Attitude and Motivation) bahwa di era global, negara di dunia ketiga akan cenderung memilih bahasa yang memberikan keuntungan dari sisi ekonomi dan dominasi politik.
Inilah yang dicemaskan Alastair Pennycook (dosen linguistik di Sydney University of Technology) dengan peran paradoksal bhs Inggris. Bahasa Inggris ibarat pisau bermata dua. Di samping sebagai alat komunikasi efektif di dunia global, juga sebagai alat imperialisme dan kolonialisme Barat model baru. Semua bangsa 'diharuskan' bisa berbahasa Inggris untuk kepentingan komunikasi verbal. Pada saat yang sama, budaya dan bahasa kita telah dikikis perlahan dan dipandang sebelah mata.
Apa yang diramalkan Pennycook memang akan benar adanya. Bahasa Inggris menjadi neo-imperialism. Bukankah jelas kalau bahasa Inggris sudah mampu mengkastakan manusia di Negara ketiga. Sengaja dikondisikan sedemikian rupa agar bangsa kita tetap menjadi bangsa terjajah dan terbelakang. Untuk menghindari booming posisi yang menjanjikan bagi bangsa kita, bahasa Inggris dijadikan alasan untuk menghalangi kemampuan mereka. Walhasil, bangsa West tetap menduduki posisi strategis dalam segala bidang. Itu karena kita mau dan sepakat mengiyakan.
Terlepas dari peran ganda bahasa Inggris, harus kita terima bahwa sudah teramat sulit untuk lepas dari dominasinya. Kita perlu bahasa Inggris. Untuk menjawab tantangan global dan pasar bebas, kita tidak bisa berharap banyak dari lembaga pendidikan formal. Belajar bahasa Inggris tidak bisa dengan 3 X 24 jam seperti tawaran buku-buku. Atau, mahir dalam 3 bulan seperti iklan kursus yang selalu bersemi. Kita perlu waktu lebih lama sebab belajar bukan pemerolehan. Memang benar bahwa belajar bahasa asing haruslah seumur hidup sebab bahasa itu hidup dinamis dan terikat dalam budaya lingkungan penuturnya.
Konfrontasi budaya akan terjadi jika kita memaksakannya. Contoh, apakah mungkin di kelas guru mengajarkan materi dengan konteks 'sexism' atau 'drug party' yang di konteks asalnya ibarat nasi goreng kita di pagi hari? Telaahlah buku teks terbitan asing. Mengajarkan "Good morning" saja (maaf) masih harus pintar-pintar negosiasi dulu dengan "Assalamualaikum". Minimal negosiasinya dengan keyakinan kita sendiri. Merusak tatanan nilai atau tidak? Yang pasti, kelas tidak mungkin mampu menyediakan situasi yang persis sama dengan konteks yang sebenarnya.
Kita jangan lupa kalau bahasa Inggris di sekolah diajarkan juga karena 'terpaksa'. Kelas berisi sekitar 45-an siswa dengan latar belakang dan kapasitas yang berbeda. Kurikulum, tidak ada yang lebih baik. Metode pengajaran, pun demikian. Guru mengajar ibarat supir pete'-pete' mengejar setoran. Belum lagi sebagian bahan tes UAN yang maksudnya menguji kemampuan berbicara disajikan secara tertulis (?). Tes 'bicara' kan seharusnya bicara.
Iseng-iseng, pernahkah kita memperhatikan roster yang disusun pihak sekolah? Bhs Indonesia, bhs Inggris, bhs Daerah dan bhs Arab (di Mts) diajarkan pada hari yang sama. Alamak, perang empat bahasa dan empat budaya.
Jika kasusnya di pondok pesantren, ceritanya jadi lain. Paling tidak, pemondok memiliki kelebihan di sisi pembentukan kebiasaan. Dan, itu perlu dalam belajar bahasa. Komunikasi terjadi setiap saat dan mereka menghindari panggilan sidang di mahkamah bahasa. Walaupun hasilnya pasaran, sudah lumayan bagus. Toh, bahasa Inggris juga tak bisa menghindari kemunculan variasinya. Sebutlah misalnya Singaporean English, American English, British English, Australian English, dan Canadian English. Kenapa tidak Indonesian English? Tapi kalau di SLTP umum atau di SMU dengan intensitas pertemuan di kelas hanya sekitar 3 jam setiap minggunya, tidak bisa dijamin. Sungguh, kecerdasan dan bakat bahasa anak-anak kita orang perorang tidak perlu dicemaskan. Itu soal kognitif. Namun, bagaimana dengan afektif domainnya? Persepsi, sikap dan motivasi diakui berpengaruh banyak dalam belajar bahasa. Selain itu, cara dan strategi belajar juga turut berpengaruh. Apakah anak-anak kita memiliki dan membawanya ke kelas? Ini tantangan bagi guru bahasa Inggris.
Jika anak-anak berpersepsi bahwa bahasa Inggris sulit, sikapnya mungkin akan negatif terhadap bahasa Inggris. Biasanya mereka jadi malas ikut pelajaran itu, nongkrong di kantin sekolah atau di toilet dan bahkan kadang sampai loncat pagar. Otomatis mereka tidak termotivasi untuk berprestasi di bidang studi bahasa Inggris. Untuk memotivasi mereka di dalam kelas, diperlukan kreativitas guru menyulap suasana kelas yang membosankan jadi menyenangkan. Hanya saja guru memang bukan pesulap. Mereka hanya insan biasa yang punya keterbatasan. Menyenangi guru bahasa Inggris juga salah satu motif yang bisa mengantar anak mencintai mata pelajaran tersebut. Walaupun sisi ini tidak banyak membantu, paling tidak anak-anak tetap setia mengikuti pelajaran hingga bel menyatakan pelajaran selesai seeiring dengan selesainya paragraf ini.
Penulis adalah Guru Bahasa Inggris MTs Negeri Karangtengah

***********************************************************************************************************************

BAGAIMANA MENINGKATKAN MUTU HASIL PELAJARAN 
BAHASA INGGRIS DI SEKOLAH
Oleh:
Muhammad Badrus Sholeh, M.Pd


A. Pendahuluan

Kemampuan berbahasa Inggris merupakan salah satu kemampuan yang sangat menentukan dalam memperoleh lapangan kerja akhir-akhir ini. Fenomena inilah yang mendasari munculnya berbagai macam kursus Bahasa Inggris di seluruh wilayah Indonesia. Terlepas dari bagaimana sesungguhnya mutu dari kursus-kursus Bahasa Inggris yang ada di Indonesia ini, tersirat suatu keadaan yang memprihatinkan yaitu kurang baiknya mutu hasil pengajaran Bahasa Inggris di sekolah-sekolah.
Mengapa penulis mengambil kesimpulan demikian? Tentunya bukan tanpa dasar. Secara logika, kita dapat mengajukan argumentasi bahwa tidak mungkin kursus-kursus Bahasa Inggris sedemikian menjamurnya di Indonesia jika hasil pengajaran Bahasa Inggris di sekolah ternyata memuaskan. Jika demikian halnya, maka kursus Bahasa Inggris yang ada hanyalah yang ditujukan untuk kepentingan-kepentingan khusus seperti untuk memperoleh sertifikat TOEFL, IELTS, dan lain-lain serta bukan yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari. Tapi kenyataannya, mayoritas kursus Bahasa Inggris yang ada adalah yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari, bukan untuk tujuan-tujuan lain.
Keadaan ini tentunya menimbulkan masalah. Bagi para siswa yang datang dari keluarga menengah ke atas, masalah kesulitan berbahasa Inggris ini dapat diatasi dengan mudah. Mereka tinggal menunjuk kursus Bahasa Inggris mana saja yang mereka suka dan mulai belajar. Tetapi, bagaimana halnya dengan para siswa yang berasal dari kalangan bawah? Hal ini tentunya merupakan kesulitan tersendiri karena, kadang-kadang, jangankan untuk membayar uang kursus, untuk makanpun mereka masih harus mencari uang selepas sekolah. Lalu apa dampaknya? Tentu sangat jelas. Karena perusahaan-perusahaan papan atas yang ada di negara ini selalu mencantumkan persyaratan kemampuan berbahasa Inggris sebagai salah satu syarat untuk menjadi karyawan di perusahaan tersebut, maka hilanglah kesempatan para siswa yang berasal dari kalangan bawah ini untuk dapat masuk ke wilayah kerja yang dapat memberikan penghasilan yang lebih besar. Mereka akhirnya hanya dapat bekerja di perusahaan-perusahaan kecil yang tidak mensyaratkan kemampuan berbahasa Inggris dengan gaji yang sangat jauh tingkatannya dengan perusahaan asing. Dengan demikian, taraf kehidupan mereka tentunya tidak akan jauh berbeda dengan taraf kehidupan orang tua mereka sebelumnya.
B. Pembahasan
Dengan memandang alasan-alasan tersebut di atas, apakah kita sebagai guru Bahasa Inggris tidak tergerak untuk berupaya meningkatkan kemampuan siswa berbahasa Inggris melalui pelajaran Bahasa Inggris di sekolah? Sebagai kalangan yang sering disebut-sebut sebagai Pahlawan tanpa Tanda Jasa, sangatlah tidak layak jika kita ingin dianggap sebagai pahlawan tetapi tidak berupaya untuk memajukan siswa-siswa kita. Di tengah-tengah munculnya fenomena segelintir guru-guru yang mengejar materi untuk kepentingan pribadi dengan memanfaatkan muridnya, marilah kita usik kembali jiwa pengabdian kita untuk berupaya meningkatkan hasil pengajaran Bahasa Inggris di sekolah agar siswa-siswa kita yang berasal dari kalangan bawah tidak semakin terpuruk dan tidak akan kalah dari siswa-siswa lain yang berasal dari kalangan berada.
Masalah-Masalah yang Timbul dalam Pengajaran Bahasa Inggris di Sekolah Jika kita renungkan lebih dalam, adalah hal yang sangat luar biasa bahwa siswa yang telah belajar Bahasa Inggris selama minimal 6 tahun (sejak SMP) setelah lulus SMA masih tidak dapat berbicara dalam Bahasa Inggris, bahkan untuk memperkenalkan diri sendiri sekalipun. Disebut luar biasa karena jika siswa tersebut mengikuti kursus general english di suatu lembaga kursus dalam waktu yang sama, maka dapat dipastikan siswa sudah sangat mampu berbincang-bincang dalam Bahasa Inggris, bahkan mungkin sudah dapat memahami Bahasa Inggris untuk tingkatan drama, puisi, dan lain-lain. Jadi, mengapa hal ini bisa terjadi?
Berdasarkan hasil pengisian kuestioner yang penulis pernah buat pada tahun 2007 untuk tugas kuliah, terdapat beberapa masalah yang, menurut para siswa, menghambat mereka untuk menguasai Bahasa Inggris. Masalah-masalah tersebut adalah:
1. Jarangnya guru berbicara dengan Bahasa Inggris di dalam kelas. Hal ini dirasakan menghambat oleh para siswa karena menurut mereka, mereka jadi tidak terbiasa mendengar orang lain berbahasa Inggris.
2. Pelajaran terlalu ditekankan pada tata bahasa (dan bukan pada percakapan), tetapi siswa jarang diberi arahan mengenai bagaimana dan apa fungsi dari unsur-unsur tata bahasa yang mereka pelajari tersebut.
Berdasarkan hasil kuestioner dan hasil tes pada para siswa, terlihat bahwa rata-rata siswa menguasai pola-pola tata bahasa Inggris (misalnya struktur untuk simple present tense, dan lain-lain) tetapi, SISWA TIDAK MENGETAHUI KAPAN STRUKTUR TERSEBUT HARUS DIGUNAKAN DAN BAGAIMANA PENGAPLIKASIANNYA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI. Ini merupakan hal yang sangat luar biasa karena Bahasa Inggris, sama halnya seperti Bahasa Indonesia, akan lebih bermanfaat jika dapat digunakan dan diaplikasikan meskipun secara tata bahasa siswa tidak terlalu menguasainya. Bukan berarti bahwa pembelajaran tata bahasa ini tidak penting, tetapi perlu sekali teori-teori tersebut dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.
3. Kosa kata yang diajarkan tidak terlalu berguna dalam percakapan sehari-hari. Banyak siswa yang mengeluhkan bahwa kata-kata yang diberikan oleh guru Bahasa Inggris di sekolah terlalu bersifat teknis, misalnya mengenai industrialisasi, reboisasi, dan lain-lain, sementara siswa tetap saja mengalami kesulitan untuk mengartikan kata-kata yang banyak digunakan pada film, majalah, dan situs-situs internet berbahasa Inggris. Bahkan kadang-kadang, siswa sangat hapal istilah-istilah Bahasa Inggris untuk bidang politik (seperti misalnya reformation, globalization, dan lain-lain) tetapi tidak dapat menyebutkan benda-benda yang biasa mereka pakai sehari-hari dalam Bahasa Inggris (misalnya celengan, selokan, dan lain-lain). Beberapa kalangan siswa bahkan mengatakan bahwa dengan kosa kata seperti yang dipelajari di sekolah tidak mungkin siswa dapat memulai percakapan dengan orang asing dengan menggunakan Bahasa Inggris. Mungkin ada benarnya juga, tidak mungkin tentunya kita tiba-tiba mengajak orang yang baru kita kenal untuk mendiskusikan industrialisasi, misalnya.
4. Materi pelajaran Bahasa Inggris di SMP dan SMU tidak berkesinambungan Para siswa menyatakan bahwa sering terjadi pengulangan materi (seperti misalnya tenses) yang telah diajarkan di SMP di tingkatan SMU, tetapi tetap saja fungsi dan pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari kurang jelas.
Jadi, sebagai seorang guru Bahasa Inggris, apa yang dapat kita lakukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut? Banyak tentunya, karena diakui atau tidak, gurulah yang memegang kendali dalam pengajaran. Yang jelas, kita tidak boleh hanya menyalahkan pihak pemerintah (yang membuat kurikulum) saja tetapi akan lebih baik jika kita mengintrospeksi diri sendiri dan lebih menggali lagi potensi kita untuk mencari pendekatan yang lebih berhasil dalam mengajarkan Bahasa Inggris pada siswa di sekolah.
C. Kesimpulan dan Saran
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa masih banyak kendala yang harus dihadapi dalam upaya meningkatkan mutu hasil pengajaran Bahasa Inggris di sekolah. Untuk itu, penulis memiliki beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi para sesama pengajar Bahasa Inggris di Indonesia.
1. Selalu pertahankan kemampuan kita bercakap-cakap dalam Bahasa Inggris agar kelancaran berbahasa tetap terjaga. Hal ini perlu karena dapat memotivasi murid-murid kita untuk dapat berbicara dengan lancar. Mungkin sulit sekali jika kita tidak pernah bertemu dengan orang yang juga dapat berbahasa Inggris. Oleh karena itu, penulis memiliki usul agar para guru Bahasa Inggris ini memiliki semacam klub (conversation club) untuk ajang bertemu dan bertukar pikiran antar sesama guru Bahasa Inggris di wilayah yang sama. Dengan demikian, keahlian kita dalam menggunakan Bahasa Inggris akan selalu tetap terjaga.
2. Selalu menekankan fungsi dan aplikasi dari semua unsur tata bahasa yang kita terangkan kepada siswa. Pastikan bahwa siswa benar-benar mengerti kapan mereka harus menggunakan struktur tersebut.
3. Berikan tambahan kosa kata yang akan bermanfaat untuk percakapan sehari-hari pada siswa dan perkenalkan siswa dengan majalah-majalah remaja berbahasa Inggris agar mereka menjadi gemar membaca dan memperoleh banyak tambahan kosakata dari majalah tersebut. Dengan demikian, siswa akan percaya diri jika harus bergaul dengan remaja asing yang berbahasa Inggris.
4. Meskipun kita tidak memiliki kekuasaan untuk mengubah kurikulum, setidaknya pastikan bahwa pengulangan materi yang kita berikan merupakan pendalaman mengenai apa yang sudah dipelajari siswa dan bukan hanya mengulang tetapi tidak membuat siswa semakin bisa menerapkannya.
Demikian beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat untuk kita semua. Penulis akan merasa sangat senang jika artikel ini dapat menjadi pembuka forum tukar pendapat untuk para guru Bahasa Inggris. Semoga apa yang telah dipaparkan di atas memberikan manfaat bagi kita semua.

2 komentar:

  1. mb baik dirintis ESC (English Speaking Club) di madrasah kita ...

    BalasHapus
  2. bisakah kita kerjasama untuk upload atau menjurnalkan jurnal yang ber ISBN?

    BalasHapus